Senjata Ujian
2015
Besok adalah ujian terberat bagiku, mata kuliah dengan diktat paling tebal daripada yang lainnya. Bodohnya, aku masih menggunakan cara belajar yang sama ketika masa SMA dulu, yaitu sistem kebut semalam (SKS).
"Mulailah dengan mempelajari soal ujian tahun-tahun sebelumnya, lalu bacalah diktatnya!" Saran salah seorang senior kepadaku.
Kuawali SKS-ku sesuai dengan sarannya. Ketika kusudah menyelesaikan soal itu, aku merasa kesiapanku untuk mengikuti ujian bertambah, aku pun memutuskan untuk beristirahat, padahal waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam, padahal pada hari lainnya aku rela begadang untuk menyelesaikan diktat yang ada.
Semakin cepat tidur semakin cepat bangun, aku bangun lebih awal dari biasanya. Pada waktu menjelang fajar itu, aku mulai membaca diktat dari awal. Waktu itu terasa begitu hening, hatiku menjadi lebih tenang, dan akalku terasa lebih cemerlang.
Halaman per halaman kulewati, dan tak terasa setengah jam sebelum ujian dimulai, diktat itu berhasil kuselesaikan.
Ratusan mahasiswa di kumpulkan dalam satu aula yang sangat besar, tentunya jumlah pengawas menjadi lebih banyak dari biasanya.
"Semuanya harap tenang!" Teriak salah satu seorang pengawas.
Aku menghadirkan rasa panik yang luar biasa kepada diriku sendiri, itulah ritualku setiap kali ujian. Karena, aku meyakini bahwasanya seorang yang merasa sedang berada dalam titik rendah dalam hidupnya, ia tidak akan mengharapkan sesuatu kecuali dari yang Maha Kuasa, berawal dari kepanikan menjadi ketenangan dan rasa tawakal pun hadir dengan segera.
Pandanganku fokus ke kertas ujian, kubaca seluruh soal terlebih dahulu, kebahagian mulai muncul ketika kudapati tiga dari tujuh soal ternyata sama persis seperti soal- soal yang telah kupelajari semalam.
"Minimal tiga soal dapat nilai sempurna lah.." Pikirku ketika itu.
"Perhatian!!" Teriak salah seorang pengawas yang memecahkan fokusku.
"Kerjakan tiga soal saja!" Lanjutnya.
Seketika, aku pun tersenyum tanda kemenangan.
Cerita pun selesai dengan happy ending, tetapi aku mempelajari sesuatu; terkadang mungkin cukup dengan belajar yang minimal bisa mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi sehina itukah diri ini? Sekian tahun duduk di bangku kuliah hanya untuk mengejar nilai?
Maka, kembali ke asal masalahnya; untuk apa aku kuliah?
"Mulailah dengan mempelajari soal ujian tahun-tahun sebelumnya, lalu bacalah diktatnya!" Saran salah seorang senior kepadaku.
Kuawali SKS-ku sesuai dengan sarannya. Ketika kusudah menyelesaikan soal itu, aku merasa kesiapanku untuk mengikuti ujian bertambah, aku pun memutuskan untuk beristirahat, padahal waktu baru menunjukkan pukul sembilan malam, padahal pada hari lainnya aku rela begadang untuk menyelesaikan diktat yang ada.
Semakin cepat tidur semakin cepat bangun, aku bangun lebih awal dari biasanya. Pada waktu menjelang fajar itu, aku mulai membaca diktat dari awal. Waktu itu terasa begitu hening, hatiku menjadi lebih tenang, dan akalku terasa lebih cemerlang.
![]() |
Salah satu mahasiswa tersenyum gembira setelah sekian lama tak naik sepeda. |
Halaman per halaman kulewati, dan tak terasa setengah jam sebelum ujian dimulai, diktat itu berhasil kuselesaikan.
Ratusan mahasiswa di kumpulkan dalam satu aula yang sangat besar, tentunya jumlah pengawas menjadi lebih banyak dari biasanya.
"Semuanya harap tenang!" Teriak salah satu seorang pengawas.
Aku menghadirkan rasa panik yang luar biasa kepada diriku sendiri, itulah ritualku setiap kali ujian. Karena, aku meyakini bahwasanya seorang yang merasa sedang berada dalam titik rendah dalam hidupnya, ia tidak akan mengharapkan sesuatu kecuali dari yang Maha Kuasa, berawal dari kepanikan menjadi ketenangan dan rasa tawakal pun hadir dengan segera.
Pandanganku fokus ke kertas ujian, kubaca seluruh soal terlebih dahulu, kebahagian mulai muncul ketika kudapati tiga dari tujuh soal ternyata sama persis seperti soal- soal yang telah kupelajari semalam.
"Minimal tiga soal dapat nilai sempurna lah.." Pikirku ketika itu.
"Perhatian!!" Teriak salah seorang pengawas yang memecahkan fokusku.
"Kerjakan tiga soal saja!" Lanjutnya.
Seketika, aku pun tersenyum tanda kemenangan.
Cerita pun selesai dengan happy ending, tetapi aku mempelajari sesuatu; terkadang mungkin cukup dengan belajar yang minimal bisa mendapatkan hasil yang maksimal, tetapi sehina itukah diri ini? Sekian tahun duduk di bangku kuliah hanya untuk mengejar nilai?
Maka, kembali ke asal masalahnya; untuk apa aku kuliah?
Comments
Post a Comment